13/12/2010 | 06 Muharram 1432 H
Oleh: Shabra Shatilla (montlakeschool.org)
“Sesungguhnya ada beberapa orang munafik yang mengira Rasulullah telah wafat!” Lelaki itu berkata dengan suara keras, “Padahal sesungguhnya Rasulullah itu tidak akan mati! Dia hanya pergi menemui Tuhannya, sebagaimana Nabi Musa bin Imran pergi kepadaNya. Ia pergi meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari. Kemudian dia kembali kepada mereka setelah sebelumnya dikabarkan mati.”
“Demi Allah,” lanjutnya kepada orang-orang di depan masjid, “Rasulullah benar-benar akan kembali seperti yang telah dilakukan Musa. Lalu dia akan memotong kedua tangan dan kaki orang-orang yang telah mengira Rasulullah telah mati!”
Wahai Tuan dan Nyonya, siapa tidak mengenal lelaki bertubuh besar, tinggi, tegap, tegas, keras, dan botak ini. Dia adalah Umar bin Khathab. Seorang sahabat Rasulullah yang paling berani menghadapi kaum musyrikin. Seorang yang bashirah-nya mampu mendahului turunnya beberapa ayat Al Qur’an. Yang rasio dan daya pikirnya melebihi orang-orang yang berada di sekitarnya. Seorang mukmin yang sangat mampu membedakan yang hak dan yang bathil. Manusia yang ditakuti oleh syaithan di lorong-lorong kota Madinah. Seorang pencinta sejati yang mampu memper-kerja-kan cintanya, dari prioritas mencintai diri sendiri ke cinta utamanya pada Rasulullah. Dalam sejekap. Hanya sekejap saja mengubah arah cintanya kepada Rasulullah.
Umar hari itu sepertinya langit Madinah, benar-benar mendung bersama kabar kematian Rasulullah. Kabar itu seakan-akan petir di tengah musim kemarau. Mematahkan kesadaran para sahabat terhadap realita hidup. Seakan baru kemarin Rasulullah datang berhijrah ke kota itu. Masih terbayang di mata orang-orang Anshar tatkala Rasulullah di pasca Perang Bani Tsaqif berkata lembut, “Hai sekalian kaum Anshar, tidakkah kalian senang jika orang-orang itu pergi membawa kambing dan unta, sedangkan kamu sekalian pulang ke rumahmu membawa Rasulullah?”
Dan lelaki tua yang lain, yang hatinya begitu lembut. Yang biasa menangis di dalam shalat-shalatnya. Datang begitu mendengar apa yang tidak ingin didengarnya itu. Maka, ia pun masuk ke bilik putrinya di deretan bilik cinta itu. Sejurus kemudian ia keluar setelah yakin dengan kabar yang didengarnya. Dan masih didapatinya Umar bin Khathab masih saja berbicara keras dengan orang-orang di dalam masjid yang terhubung langsung dengan bilik-bilik itu.
“Duduklah, wahai Umar…!” pinta lelaki tua itu kepada Umar. Lembut saja.
Umar yang keras kepala itu tetap saja berbicara di depan orang-orang. Ia tidak mau mendengarkan permintaan lelaki tua itu, Abu Bakar. Umar tidak mau duduk. Sepertinya ia sangat terpukul dengan kematian sang kekasih.
Mendapati Umar terus saja berbicara seperti itu, Abu Bakar membaca kalimat syahadat. Orang-orang pun seakan tersadar. Orang-orang mulai datang mengerumuninya. Mereka meninggalkan Umar yang terus-terusan berbicara.
“Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad,” kata Abu Bakar, “Maka, sesungguhnya beliau telah mati. Dan barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan mati.”
“Muhammad itu,” kata Abu Bakar membaca firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 144, “Tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Maka, orang-orang seperti dibangunkan dari mimpinya mendengar ayat itu. Padahal mereka sangat tahu tentang ayat itu. Namun, rasanya hari ini mendung di langit hati mereka telah menutupi cahaya ayat itu dan menghilangkan kesadaran mereka pada kenyataan. Ibnu Abbas dan Abu Hurairah mengatakan bahwa para sahabat seolah-olah benar-benar belum tahu bahwa ayat itu pernah turun hingga dibacakan oleh Abu Bakar itu, lalu orang mengambilnya dari Abu Bakar, padahal ayat itu telah biasa mereka ucapkan.
“Demi Allah!” kata Umar bin Khathab sebagaimana dinukil Ibnul Musayyab dalam Shahih Bukhari, “Tidaklah aku mendengar Abu Bakar membacanya , kecuali aku tercengang hingga kedua kakiku tak mampu lagi menyanggaku. Kemudian aku terjatuh ke tanah pada saat ia membacanya, pada saat itu aku baru menyadari bahwa Rasulullah telah wafat.”
Padahal Umar dan para sahabat masih ingat betul bagaimana kesusahan mereka tatkala di Perang Uhud mereka mendengar kabar kematian Rasulullah yang dihembuskan kaum musyrikin. Pasukan muslimin pun gentar ditinggal mati oleh Rasulullah. Adalah Tsabit bin Ad Dahdah yang menyeru kaum muslimin kala kegentingan itu terjadi. Ia mengingatkan bahwa kematian Rasulullah adalah keniscayaan, dan menghadapinya dengan kebesaran jiwa adalah pilihan.
“Wahai kaum Anshar!” ia berteriak lantang sebagaimana dicatat dalam As Sirah Al Halabiyah, “Jika Muhammad telah terbunuh, maka sesungguhnya Allah itu hidup dan tidak mati. Berperanglah demi agama kalian karena sesungguhnya Allah akan memenangkan dan menolong kalian!”
Maka, mendengar seruan itu, sejumlah sahabat pun maju menyerang pasukan Khalid bin Walid. Ah, mereka semua mendahului kita menjemput syahid di mulut pedang dan tombak pasukan Khalid.
Maka beruntunglah ummat ini memiliki Abu Bakar dan Tsabit bin Ad Dahdah. Mereka menjadi corong kata-kata dan kesadaran atas sebuah peristiwa. Adalah Umar dan para sahabat yang merupakan manusia-manusia pilihan. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui apa-apa yang terjadi dengan turunnya ayat-ayat Al Qur’an. Namun, hari-hari mendung adalah hari-hari yang sendu dan sedih. Ada tekanan berat di dada mereka hingga apa-apa yang seharusnya ada di dalam diri mereka menjelma menjadi kekerdilan.
Saya pun yakin Tuan dan Nyonya adalah orang-orang luar biasa dengan kedalaman dan keluasan ilmu laksana segara India. Dan dengan kedalaman dan keluasan itu, sebenarnya Tuan dan Nyonya menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa pilihan hidup dalam menghadapi kesusahan dan kejadian hanya dua: sabar dan syukur. Tuan dan Nyonya pasti sudah hapal di luar kepala. Dan seharusnya, idealnya, Tuan dan Nyonya tahu cara berdiri sendiri tatkala badai cobaan dan musibah datang menggulung optimisme dan pandangan realistis yang ada. Tuan dan Nyonya seharusnya tahu cara menghibur diri sendiri dan membangkitkan semangat di dalam jiwa. Sebenarnya Tuan dan Nyonya sudah tahu, seperti Umar dan sahabat-sahabat Rasulullah yang lain.
Namun, kadangkala Tuan dan Nyonya membutuhkan orang lain untuk mengatakan apa yang sudah Tuan dan Nyonya ketahui itu. Kita membutuhkan seseorang yang mengatakan kata-kata yang sudah kita tahu. Seperti kata, “Bersabarlah…” atau “Jangan menangis..” atau “Allah selalu memberikan takdir terbaik bagi manusia…” atau “Saya harus melanjutkan hidup saya. Begitu juga Anda..” Kita sudah tahu dan hapal kata-kata ini, bahkan mungkin sangat hapal. Namun, kita kadang membutuhkan orang lain mengatakan itu kepada kita.
Atau jika Tuan tidak suka berkata-kata, Tuan bisa memilih kata tanpa kata. Sebuah pelukan hangat yang bersahaja dari seseorang yang mencinta Anda. Satu pelukan tanpa kata. Hanya cinta dari seseorang yang saling bersaudara. Saat itu, bolehlah Tuan berair mata bahagia. Atau sekadar mengentaskan kita dari duka lara dan derita, dan mengembalikan kita ke alam sadar jaga.
Selasa, 08 Maret 2011
Kata Tanpa Kata
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar