Senyum adalah karunia Allah swt yang diberikan kepada semua hamba-Nya. Senyum dapat mengubah banyak hal. Dengan senyum, sedih jadi bahagia, benci jadi rindu, orang biasa jadi simpatik, suasana beku jadi cair. Ini hanyalah sebagian saja dari sekian banyak dampak senyum.
Di banyak masyarakat yang memiliki tradisi menebar senyum, angka perceraian, perkelaian, pembunuhan, dan sejenisnya jauh lebih rendah ketimbang masyarakat yang miskin senyum. Ini salah satu bukti konstribusi senyum terhadap pertumbuhan masyarakat dan kesehatannya tidaklah kecil.
Sayang, tradisi senyum terjadi penyusutan di mana-mana. Entah di kota maupun di desa, di kota metropolitan maupun di kota kecil, di perkantoran maupun di masyarakat. Pecahnya persahabatan, runtuhnya persaudaraan di masyarakat, permusuhan, tim yang tidak bisa bekerja hanyalah bagian dari bukti degradasi yang diakibatkan oleh menyusutnya kualitas dan kuantitas senyum.
Di tempat kerja, kita menyaksikan hubungan antar manusia yang kaku dan kering. Di dunia politik dan manajemen publik, kita sering menemukan konflik, hujat menghujat, saling menyalahkan terjadi hampir di setiap komunitas agama, antar mazhab agama bahkan dalam satu mazhab, yang hampir-hampir menjadi sekat-sekat pemisah yang membahayakan.
Di dunia keluarga, kita menyaksikan meningkatnya angka perceraian, retaknya hubungan persaudaraan. Berdasarkan penelitian di Amerika bahwa semakin tingginya kemampuan pendapatan wanita, semakin tinggi pula tingkat perceraian. Maaf, menurut saya, ini bukan disebabkan oleh sisi negatif wanita, tetapi lebih dikarenakan kurangnya penanaman nilai-nilai moral dan akhlak yang subtansial bagi kaum wanita.
Padahal kita menyakini bahwa lembaga keluarga merupakan benteng terakhir dari masyarakat. Cepat atau lambat, jika lembaga keluarga goyah maka akan merambah pada keruntuhan masyarakat dan negara. Karena itu semakin jelaslah kandungan hadis Rasulullah saw:
“Wanita adalah tiang negara. Jika baik wanitanya maka baiklah Negara tersebut. Jika buruk mental wanita maka buruklah negara itu.”
Di era globalisasi ini kita sangat merasakan menyusutnya kualitas dan kuantitas senyum. Biasanya semakin tinggi kedudukan dan jabatan seseorang semakin miskin senyumnya. Semakin meningkat kekayaan seseorang semakin tinggi “jaga imagenya” dan semakin berkurang kualitas dan kuantitas senyumnya.
Tidak jarang terjadi pada diri seseorang, dulu ketika miskin dan belum punya jabatan ia mudah menebar senyum setiap berjumpa tetangga dan sahabatnya. Tapi sesudah punya jabatan dan kekayaan ia berubah: miskin senyum, sikapnya kaku dan tidak bersahabat. Bahkan kadang-kadang sikapnya tidak bersahabat saat berjumpa dengan teman-teman lamanya yang masih miskin.
Bercermin pada lingkungan sosial kota besar, spirit penuh senyum inilah yang merosot di mana-mana, sekaligus menebar spirit negatif di mana-mana.
Bayangkan sebuah komunitas yang amat mudah berbagi senyum. Bertemu setiap orang dimulai dengan senyum. Ada maupun tidak ada pemberian, senyum tetap hadir. Semua kegiatan dimulai dan diakhiri dengan senyum. Alangkah indah dan damainya lingkungan yang seperti ini.
Permusuhan akan sirnah, hujat menghujat akan punah, dan pembunuhan akan berakhir. Keakraban akan tercipta, persaudaraan akan terjalin, kedamaian akan tersebar, dan keberkahan akan mengalir. Yang tua menyangi yang muda, yang muda menghormati yang tua, yang kaya menyantuni yang miskin, yang punya jabatan mengayomi yang lemah.
Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata:
“Senyum seorang mukmin kepada saudaranya adalah suatu kebaikan, menghilangkan pandangan yang tak sedap juga kebaikan. Tidak ada ibadah kepada Allah yang nilainya seperti membahagiakan seorang mukmin.” (Al-Wasail 12: 120)
by Syamsuri Rifai Monday, December 7, 2009
Kamis, 10 Desember 2009
Senyum Karunia Ilahi yang Hilang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar